Kantor Hukum AMR Lawfirm Mencurigai Ada Pihak Yang Ingin Merebut Lahan Milik Kliennya, Suparman : “Ini Tambak dan Ladang Sawit, Bukan Lahan Mangrove”

0

MEDAN, HARIANMEDIARAKYAT

Dalam sejarahnya yang panjang, Desa Kwala Langkat di Tanjung Pura, Langkat, telah menjadi saksi bisu bagi perjuangan Suparman, juga dikenal sebagai BS, dalam memanfaatkan dan mengusahakan lahan secara berkelanjutan. Dengan tanaman sawit, tambak udang, dan kepiting sebagai tulang punggung usahanya, Suparman kini berhadapan dengan tantangan yang menguji keadilan dan perlindungan hukum atas klaimnya terhadap lahan mangrove yang diduga telah rusak.

Klaim Suparman terhadap tanah tersebut didasarkan pada bukti kepemilikan yang sah, yang termaktub dalam akta pelepasan Hak dan Ganti Rugi yang diterbitkan oleh Camat, serta sertifikat tanah yang diterbitkan pada tahun 1975. Sejak saat itu, lahan tersebut telah dikuasai dan diusahakan secara berkelanjutan oleh Suparman dan keluarganya. Namun, tuduhan pengerusakan lahan mangrove yang muncul mengancam klaim ini.

Saat ditanya wartawan, pihak berwenang dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah I Medan, Fernando Lumban Tobing, melalui Kasi Perencanaan dan Penataan Kawasan Hutan (PPKH) yakni Akbar, menjelaskan terkait alas hak kepemilikan di lokasi kawasan sebelum terbitnya peta kawasan hutan dilokasi tersebut, maka harus mengacu kepada penetapan peta register.

Tiang lisrik di Desa Kwala Langkat

“Semisal, jika mereka ada surat kepemilikan di tahun 1965, peta yang berlaku bukan peta  tahun 1982. Tapi peta register,” ujar Kasi PPKH.

Lanjutnya, dari register ke peta 1982 banyak penambahan, nah jika klaimnya mereka tahun 1975 kita harus cek register.

“Kalau dia diluar peta register dan sekarang menjadi kawasan hutan, itu harus dikeluarkan dari kawasan hutan. Tapi syaratnya, dia harus membuktikan surat tahun 1975,” terangnya kepada wartawan

Menanggapi hal itu, H Ali Musa Tarigan SH MH selaku Kuasa hukum Suparman dari Kantor Hukum AMR Lawfirm yang berdomisili di medan Jalan Alfalah Raya No 16, Medan, mengapresiasi klarifikasi yang diberikan oleh pihak berwenang terkait status lahan yang dikuasai oleh kliennya selama puluhan tahun. Namun, ia juga menyoroti pentingnya penyelesaian administratif yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja (CIPTAKER). Harapannya adalah agar proses penyelesaian dapat dilakukan dengan transparansi dan keadilan, mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan.

“Kami berharap setelah berlakunya UU CIPTAKER, maka proses penyelesaiannya dilakukan secara administratif dengan berpedoman kan Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2021, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021, Peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7 tahun 2021, dan UU no 11 tahun 2020 tentang CIPTAKER pasal 110 huruf (b) ayat (1) dan (2),” terang Haji Ali Musa Tarigan SH MH.

Meskipun demikian, sambung Ali, ada kekhawatiran bahwa pemberitaan yang tidak akurat dan aksi demo dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat mempengaruhi proses penyelesaian secara tidak adil. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, terutama Dinas Kehutanan Langkat dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan, untuk tetap menjaga independensi dan integritas mereka dalam menangani kasus ini.

“Semoga, pemerintah khususnya Dinas Kehutanan Langkat dan Kinerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan tidak terpengaruh dengan pemberitaan yang tidak akurat dan aksi demo itu,” tutup pengacara Senior itu, yang kerap dipanggil dengan sebutan bang Ali.

Senada dengan itu, Herman Nasution yang juga selaku Kuasa Hukum menegaskan bahwa keberadaan rumah dan pasokan listrik dari PLN di atas lahan tersebut sudah menjadi bukti konkret bahwa lahan tersebut bukanlah lahan mangrove. Hal ini pun diperkuat oleh Azra’i Hasibuan, seorang warga setempat, yang menegaskan bahwa aktivitas tambak udang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa selama ratusan tahun, tanpa adanya campur tangan pemerintah untuk melarang.

Kasus kontroversial ini mencerminkan kompleksitas perselisihan antara hak kepemilikan tanah, perlindungan lingkungan, dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik semacam ini, penting untuk memperhatikan berbagai perspektif dan kepentingan yang terlibat, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan.

Sebarkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *