Terkait Penembakan Kaki Rambo, Ini Kata Direktur LBH Medan
HarianMediaRakyat.com – Dalam proses penyidikan, setiap oknum petugas kepolisian tidak dibenarkan melakukan kekerasan atau penyiksaan kepada tersangka, karena metode penyidikan yang demikian sangat tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Oknum polisi yang melanggar SOP selain harus dihukum pidana, juga harus diproses sesuai dengan kode edik. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Ismail Lubis via selulernya.
“Kalau peristiwa penyidikan yang dialami terdakwa Satria Mandala dan Billi Meirano itu benar, SOP seperti itu melanggar hukum dan tidak dibenarkan,” tegas Ismail Lubis, Kamis (17/6) pagi.
Jika benar ditembak tempel, kata Ismail, dan haya mengejar pengakuan tersangka kejahatan, hal itu tidak termasuk dalam SOP penggunaan senpi.
“Justru, itu masuk dalam pidana, karena telah melakukan penyiksaan. Perbuatan itu bisa dilaporkan ke pihak kepolisian, karena telah merendahkan hak asasi manusia,” sambungnya.
Terlepas tersangka bersalah atau tidak, sambung Ismail, mereka juga punya HAM dan itu pembuktiannya nanti di pengadilan. Penggunaan senpi bagi oknum polisi sendiri diatur oleh Perkap No 8 Tahun 2009 dan Perkap No 1 Tahun 2009.
“Senpi itu digunakan dalam keadaan yang membahayakan petugas, begitupun tidak boleh ditembakkan langsung ke yang bersangkutan. Harus ada tembakan peringatan terlebih dahulu. Dalam konteks ini, jika benar pengakuan tersangka demikian, maka oknum polisi yang melakukan itu harus ditindak. Selain tindakan hukum pidana, juga harus diproses sesuai kode etik,” tegas Ismail.
Oknum seperti itu harus diberhentikan, karena perbuatan tersebut menjadi preseden buruk terhadap proses penegakan hukum yang melindungi HAM.
“Pihak kepolisian harusnya sadar, bahwa pengakuan tersangka bukanlah satu-satunya alat bukti. Kalau hanya mengejar pengakuan tersangka, berarti mereka belum mengantongi bukti yang lain,” sambungnya.
Dalam kasus ini, lanjut Ismail, terkesan ada keterpaksaan untuk mengejar pengakuan. Seharusnya, penetapan seseorang sebagai tersangka itu bukan atas dasar pengakuan, melainkan atas dasar bukti yang cukup. “Kaalu bukti dan petunjuk cukup, penyidik gak perlu lagi mengejar pengakuan tersangka,” ungkapnya.
Cara-cara yang demikian sangatlah bertentangan dengan kode etik dan tidak berdasarkan hukum yang berlaku. “Oknum yang melakukan penyiksaan sesuai pengakuan tersangka, harusnya merasa malu dengan seragamnya,” cetusnya.
“Dalam konteks ini, kita berharap agar kejadian seperti ini jangan disepelekan. Ini masalah serius dalam penegakan hukum. Kalau bisa, kita mendorong Poldasu untuk membentuk tim dalam melakukan penyidikan dalam peristiwa ini. Kita juga meminta Komnas HAM untuk melakukan back up terhadap tersangka,” pungkasnya.
Keesokan harinya, keluarga terdakwa Satria Mandala mengunjungi Kantor LBH Medan untuk berdiskusi dan meninta bantuan hukum atas peristiwa dugaan penyiksaan yang dialami Satria Mandala dan Billi Meirano saat menjalani proses penyidikan di Polres Langkat. (Ahmad)
Teks foto: Keluarga Satria Mandaa saat berkunjung ke Kantor LBH Medan